Jakarta - Ombudsman RI menyayangkan ketidakhadiran pemerintah dalam menata industri penggilingan padi di Tanah Air.
”Industri penggilingan padi di Indonesia memerlukan revitalisasi. Mesin mereka kebanyakan mesin tua dan tidak efisien. Ujung-ujungnya, pelayanan terhadap petani makin buruk,” kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika, menanggapi adanya dugaan yang beredar di masyarakat bahwa PT Wilmar Padi Indonesia (WPI) memonopoli harga padi dan penyebab matinya penggilingan kecil di Provinsi Banten.
Dugaan tersebut diyakini karena PT WPI membeli padi dari para petani di wilayah Banten dengan harga yang cukup tinggi.
Menurut Yeka, jika ada pelaku usaha yang mampu membeli gabah dengan harga yang lebih baik, sebaiknya maka jangan "dihakimi" terlebih dahulu.
”Kita punya lesson learned yang pahit dengan matinya PT Ibu, beberapa tahun lalu. Yang jelas petani dirugikan, karena kehilangan pembeli yang memberikan pelayanan lebih baik," ujar Yeka di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (30/8).
Yeka menambahkan, berbicara mengenai persaingan antarpenggilingan, jauh sebelum PT WPI dan PT Ibu, sejak medio 1990-an persaingan antara penggilingan padi kecil dan menengah besar sudah terjadi. Namun tidak harus berujung pada matinya penggilingan padi menengah
”Persaingan justru akan meningkatkan kualitas layanan. Termasuk kualitas layanan terhadap petani. Petani tentu menginginkan hasil produksinya dihargai lebih baik dan pelayanan lainnya seperti penjualan dengan sistem timbang. Pembayaran dilakukan secara tunai membuat petani terlayani dengan baik," ucap Yeka.
Layanan seperti ini, menurut Yeka, perlu dipertahankan. Yeka memberi contoh, di Serang bukan hanya ada PT WPI saja, namun ada juga penggilingan dengan kapasitas relatif besar, seperti Penggilingan Karya Muda, Penggilingan Ar Rahman dan Penggilingan Mugi Jaya. Jika PT WPI bisa menyerap 2,6 persen dari total produksi Gabah di Banten, maka masih ada 97,4 persen lagi gabah lainnya yang diserap oleh penggilingan padi lainnya.
Untuk mendalami permasalahan ini, Yeka mengatakan, Ombudsman RI berencana memanggil semua pihak yang terlibat agar terjadi rekonsiliasi sehingga kedepannya kasus seperti ini tidak perlu terjadi lagi.
”Belajar dari kasus ini, maka pemerintah tidak boleh lagi bersikap tak acuh dan mengabaikan pentingnya program revitalisasi penggilingan padi. Jika tidak, semakin tertinggal jauh industri penggilingan padi Indonesia dibandingkan negara produsen padi lainnya,” tegas Yeka.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Banten Fadli Afriadi, Rabu pagi telah mendatangi pihak Manajemen Rice Milling Plant milik PT WPI yang berkantor di Serang. Kedatangan Fadli, dimaksudkan untuk meminta informasi seputar kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Dalam pertemuan antara Perwakilan Ombudsman Propinsi Banten dan pihak manajemen PT WPI diperoleh informasi bahwa PT WPI di Serang mulai berproduksi pada Juni 2022, dan stabil berproduksi sejak Oktober 2022.
Selama kurun waktu Januari - Agustus 2023 jumlah gabah petani yang diserap PT WPI sebanyak 39.845 ton. Jika dibandingkan dengan angka produksi gabah di Provinsi Banten hingga bulan Agustus 2023 yang diperkirakan mencapai 1,5 juta ton, maka persentase penyerapan gabah petani oleh PT WPI sekitar 2,65 persen.
Dalam pertemuan tersebut terungkap, selama Agustus 2023, penyerapan gabah petani oleh PT WPI hanya 5 persen dari rata rata realisasi produksinya sebesar 5.000 ton/bulan atau 200 ton per hari. Dari pekan pertama Agustus 2023 PT WPI sudah menghentikan aktivitas penyerapan gabah petani.